Sunday, January 19, 2014

ANALISIS: STRUCTURAL SYNTAGMATIC
UNTUK VICTORIANISM DALAM FILM OBLIVION
verdi adhanta
Cuilan dari diktat "rudimenter sinema" untuk TENTAKEL ART



ERA VICTORIAN


           
Leadenhall street, London, 1837


Pada era Victorian, Inggris menjelang abad 20, adalah sebuah kehidupan dimana moderenisasi adalah bahan pembicaraan dan pikiran di mana-mana. Revolusi Industri dan Agrikultur: rel-rel kereta direntangkan menembusi kota, padang dan bukit, menggantikan kereta kuda. Orang-orang dikenalkan dengan mesin-mesin uap yang bekerja tak kenal lelah, secara sublim menjadi standar baru, sehingga manusia biasa harus mulai bersaing.
Perkembangan pesat kota-kota besar memompa urbanisasi, berakibat pada lompatan jumlah penduduk yang hampir seketika. Persaingan hidup sangat ketat, sementara bangsawan menikmati masa-masa kenyamanan kehidupan ultra mewah di istananya masing-masing.

Reformasi dilakukan ketika para bangsawan menekankan norma sosialnya pada kaum papa. Apa yang kita kenal sekarang sebagai konservatisme, adalah warisan dari era Victorian ini. Imperial Inggris pada saat itu begitu berpengaruh pada sosial, politik, dan budaya dunia, hampir sebagaimana McDism dan industri pop Amerika mengekspor kulturnya ke seluruh dunia saat ini.

Norma sosial ini lebih berlaku pada perempuan, daripada laki-laki. Era Victorian dikenal dengan aturan yang strict terhadap perempuan. Hak-hak kehidupan perempuan sangat ditekan. Hak-hak politik dicabut, nilai kerja (labor) minim, lebih mudah bagi laki-laki untuk menceraikan perempuan daripada sebaliknya, tak boleh menuntut ke pengadilan, dan tidak boleh memiliki properti.

Ketika menikah, seluruh harta benda, gaji, penghasilan, yang dipunyai sebelum menikah otomatis menjadi milik suaminya. Laki-laki dan perempuan menjadi satu entitas, dengan suaminya mewakili untuk semuanya, sehingga perempuan "lenyap" secara sosial. Undang-undang pernikahan era Victorian juga menekankan bahwa istri adalah properti suaminya, termasuk segala yang diproduksi oleh tubuhnya: anak, kerja labor, kerja domestik dan seks. Kontrak perkawinan era Victorian juga mencabut hak consensual (setuju hubungan seks) perempuan, menjadikan tubuh perempuan sebagai milik suaminya untuk "digunakan" semaunya.


(disarming of cupid, karya William Edward Frost, salah satu koleksi Queen Victoria)

Tekanan ini mendorong banyak perempuan menghindari pernikahan dan memilih seks di luar nikah, ditambah faktor demografis pada saat itu, dimana jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Sebagian akhirnya bekerja dalam prostitusi. Namun era Victorian tidak melihat keduanya berbeda, dan tidak mengijinkan "pembangkangan" sosial ini, dengan menerapkan istilah "the great social evil" baik pada PSK maupun perempuan yang berhubungan seks di luar nikah, yang disebut fallen women, dan akan segera menerima subjugasi sosial dan hukum yang luar biasa. Hal ini, akan tetapi, tidak berlaku pada laki-laki, yang dianggap wajar bila mengunjungi pelacuran dengan alasan kebutuhan biologis. Code ini pun tidak begitu mengikat kaum bangsawan, misalnya, karena Queen Victoria sendiri punya hobby mengumpulkan lukisan dengan tubuh-tubuh telanjang. Hal ini membuat era Victorian dikenal dengan era hiprokitas, double standard, dan kontradiksi, yang kemudian terwariskan di dunia saat ini dalam trait-trait Conservatism.

Situasi ini begitu berpengaruh hingga menjadi diet keseharian budaya dan khususnya karya literatur saat itu. Strict code era Victorian melarang ekspresi emosi atau rasa seksual, mendorong lahirnya penggungaan language of flowers (floriography), sebuah metode komunikasi kriptologis melalui penataan bunga. Populernya kultur pemberian bunga, misalnya, untuk mengungkapkan cinta dalam literatur, lukisan dan film berasal dari work-around era Victorian ini.



Lukisan The Outcast karya Richard Redgrave (1851) mengambarkan seorang patriarch (bapak) mengusir sang putrinya yang punya anak di luar nikah, pergi dari rumah.

Dilihat dari sudut ini, karya seni pada era Victorian terbagi menjadi kubu Konservatif dan Progresifnya sendiri. Kritisisme dan ekspresi dalam bentuk art dan literature menjadi tema-tema kontemporer saat itu.















(Found Drowned: Nasib para the fallen)

Para aristokrat dan kaum bangsawan pada era Victorian menganggap diri mereka sebagai protector of society, yang bertugas menjaga tradisi (conservatism). Ide Victorian bagi para elite adalah penegakkan etiket sesuai code of conduct untuk membedakan dirinya dengan kaum bawah. Kita juga melihat ini dalam, misalnya, penggambaran2 hubungan antara majikan dan pekerja rumah tangga pada banyak karya seni, film dan literatur dunia.

Para laki-laki era Victorian mempunyai ekspektasi sebagai seorang Knight (Satria), yang menjadi "penjaga" bagi perempuan. Ini menjadi elemen dasar bagi penggambaran heroism dalam karya2 film dunia, terutama Hollywood. Tokoh-tokoh protagonist adalah laki-laki yang bersikap sebagai "Knight in shining armor", dan perempuan-perempuannya adalah putri-putri yang "menunggu seorang pangeran untuk membawanya pergi", dengan premis bahwa seorang perempuan selalu berada dalam situasi yang buruk, bagi seorang laki-laki heroik untuk menyelamatkannya dari situ.

Ini adalah trait Victorian Elitism, yang konsepnya dapat dengan mudah dibaca sebagai dikotomi laki-laki - perempuan dan kaum bangsawan - papa.

Analisis film akan segera memperlihatkan pada kita bagaimana Victorianism dapat digunakan untuk membaca apa yang terjadi dalam bingkai yang lebih luas:
           


Dalam film-film 007, James Bond sang spion adalah tokoh yang memenuhi segala stereotip seorang pahlawan: elegansi dan powerful. Perempuan-perempuan dalam film-filmnya memenuhi salah satu (atau dua) dari tiga fungsi:            

1. Si lemah yang  ditolong.
2. Ornamen cinta dan seks.
3. Pelaku kejahatan.

Trait Victorian segera terlihat dalam film ini. Dikotomi normatif Victorian bagi perempuan adalah: Antara 1) Penurut yang menyerah dan tunduk pada laki-laki, atau 2) Pelacur yang merupakan the great social evil. Pengemasannya berlanjut secara stereotipical untuk merepresentasi kejahatan dengan menggunakan aparatus tubuh perempuan sebagai simbol-simbolnya.

Stereotipical trait ini dirangkum dalam satir Mitchell & Webb: Poirot, sebuah sindiran, terhadap kebiasaan film dalam menggunakan elemen tubuh perempuan untuk menyimbolkan kejahatan:



Sebelum diketahui melakukan kejahatan, Susan punya postur dan gestur yang humble, lemah dan rentan. Jemarinya mencengkram tas untuk kesan membutuhkan pegangan. Posturnya membuat dirinya sekecil mungkin, meminimalkan okupasinya terhadap ruang.


Setelah diketahui melakukan kejahatan, postur Susan digambarkan powerful, confident dan merokok, menyindir kebiasaan film dimana antagonist perempuan digambarkan confident dan perokok. Perhatikan pipa rokok diarahkan keluar, mengambil ruang lebih besar. Perhatikan bajunya kini mengenakan low-cut, memperlihatkan area dada lebih luas, mengimplikasikan confident dengan tubuhnya. Rambutnya dibuka dan lampu kicker yang menjadi backlight mengiluminasi halo lebih intens di kepalanya. Lampu kicker itu pun diperkuat powernya. Perhatikan bahwa tangan kirinya menopang diri sendiri, menyiratkan kemandirian. Hal ini mengatakan bahwa dalam film-film yang disindirnya, confident, perokok (tahu apa yang ia mau), mandiri, dan powerful digunakan untuk menggambarkan perempuan jahat.



Lebih jauh lagi, ketika Susan bergerak mendekati suaminya, sang suami berkata dengan heran, "Her tits just got bigger!" (Payudaranya membesar). Lalu David Mitchell (berperan sebagai plesetan dari Hercule Poirot), mengatakan, "It happens." David & Mitchell: Poirot menggambarkan betapa stereotype dalam film-film ini redundant dan ridiculous.

Mengamati film dari hubungan gendernya adalah hal termudah yang bisa kita lakukan untuk menempatkan karya tersebut dalam peta literatur. Secara pribadi saya bisa melihat sebuah kecenderungan bahwa karya-karya yang belum selesai dengan persoalan chauvinisim dan relasi gender, biasanya tidak menawarkan substansi yang cukup untuk dianggap serius, selain sekedar hal-hal teknis sinematik.
Ini mengapa mereka membuat Bechdel Test.
http://bechdeltest.com/

MEMBACA SECARA STRUKTURAL
Dari filsafat Strukturalism, terlahir teori film strukturalist. Strukturalist lebih melihat pada bagaimana cara pesan disampaikan oleh suatu produk cinema. Pandangan ini bisa dilihat sebagai cara melihat film dari teknik komunikasinya. Bagaimana anasir dan elemen sinema, termasuk teknik-teknik kamera, shot, screen direction, lighting, dan sebagainya, terstruktur untuk menyampaikan pesan.

Formalisasi terhadap kritik strukturalis membawa kritik literatur semiotik terhadap film. Semiotika secara umum adalah usaha penyederhanaan kompleksitas suatu presentasi ke dalam tanda-tanda yang dapat dibaca dan dimaknai.

Pemberian konteks syntagmatic atas tanda (signification) dapat dilakukan secara spatial dengan melihat orientational metaphor dalam dimensinya, dengan justifikasi kultur yang bersangkutan. Contoh, hampir semua kultur mempunyai konotasi bahwa "atas" berasosiasi kebaikan, kelebihan, kebahagiaan, kesadaran, daya kendali dan rasionalitas. Sebaliknya "bawah" berasosiasi keburukan, kekurangan, kesakitan, kematian, terkendali, dan emosi.

Spatial Syntagmatic untuk James Bond

Untuk membaca cuilan gambar dari film James Bond. Sang pahlawan berada di atas dan perempuan berada di bawah. Kepala sang perempuan berada di atas garis normalnya, dan tangan perempuan menopang dirinya sendiri.

Pembacaan ini memberikan infer bahwa postur sang perempuan menandakan kemampuan dan penyerahan sekaligus, dan bahwa ia memilih untuk mengakomodasi hasrat Bond.

Ini adalah salah satu warisan Victorian ethics bagi perempuan modern, bahwa bagaimanapun ia mampu, ia harus selalu menyerahkan diri (submission) kepada laki-laki, dalam memenuhi kriteria normatif masyarakat terhadap stereotip "perempuan baik-baik", alias prudism.

Selain secara spatial (bagaimana relasi tanda dalam ruang), film juga dibaca secara sequential, atau sequential syntagmatic, karena ia adalah karya seni yang punya dimensi waktu. Pembacaan sequential adalah memahami pesan yang dibangun terhadap event yang serial. Event yang ada sebelum atau sesudah event yang lain, dapat menjadi signifier atau pemberi konteks, yang kemudian menghasilkan tanda.

Sekarang kita akan melihat bagaimana Victorianism digunakan dalam film Oblivion (2013) untuk melakukan delivery pesan.


Film Oblivion disutradari oleh Joseph Kosinski. Bercerita tentang tokoh protagonist Jack Harper, seorang teknisi drone yang ternyata adalah drone juga. Dia adalah clone dari astronot Jack Harper yang puluhan tahun sebelumnya bertemu dengan pesawat alien, yang kemudian menghancurkan Bumi, dan membuat ratusan clone dari dirinya dan rekan kerjanya sesama astronot, lalu mencuci otaknya hingga menyangka para Scav, yang sebenarnya adalah sesama manusia, adalah alien yang menghancurkan Bumi. Sampai akhirnya istrinya yang sebenarnya pulang ke Bumi dan memberitahukan yang sebenarnya, dan bersama Scav mereka akhirnya berhasil mengalahkan para Alien tersebut.

Para Alien mencuci otak Jack hingga mengira rekan kerjanya adalah istrinya. Istri palsunya ini bernama "Victoria." Hampir langsung pada pesannya.







Dunia secara literal hanya milik mereka berdua. Bumi kosong, kering, paska event apokaliptik. Jack bekerja sebaga teknisi dan Victoria adalah "control officer" khusus untuknya, yang menanti dan mengendalikannya dari rumah, sementara Jack mempertaruhkan raga dan nyawanya di luar, agar impian mereka bisa tercapai: pergi dari situ, dan pindah ke Titan, yang dijanjikan pada mereka sebagai tempat kemana para manusia lainnya telah mengungsi.

Setiap saat mereka melaporkan pada komando pusat, bahwa mereka adalah tim yang efektif. Menjadi tim yang efektif adalah idaman mereka. Menjadi suami-istri dalam rumah tangga yang idealistik, impian era Victorian.


Kita bisa membaca bagaimana cara Victoria didudukkan: posturnya tegak, menjadi pengendali bagi suaminya, dengan cross-ankle. Postur ini memenuhi karakterisasi prudism, sebuah etik Victorian, yang menggambarkan idealisasi permpuan yang elegan. Dalam studi bahasa tubuh, cross-ankle adalah posisi self-restraint (menahan diri). Cross-ankle juga adalah posisi yang dikenal sebagai postur penjahit baju di Eropa, ketika tengah bekerja. Victoria duduk demikian ketika suami berada di luar rumah, menunjukkan chastity, code of conduct Victorian. Victoria adalah seorang lady of the house yang ideal dalam norma Victorian.



Jack dan Victoria mengisi kehidupan mereka dengan norma-norma "keluarga idaman". Jack melatih tubuhnya untuk tenaga (berlari), dan Victoria melatih tubuh untuk bentuknya (senam).




Gambaran fungsi perempuan idealistik juga sebagai penghidang makan untuk sang suami. Dalam gambar ini Jack makan makanan dari tangan Victoria.



Seperti dalam era Victorian, tentu bukan laki-laki namanya bila tidak punya kehidupan di luar rumah. Jack digambarkan punya teman selain istrinya, yaitu sebuah boneka bernama Tom, dan seekor ikan yang dikunjunginya pada waktu-waktu yang ia bisa "curi" ketika berada di luar pengawasan Victoria, istrinya. Dalam film Oblivion, alasannya adalah jarak jangkau radar yang tak sampai. Pada era Victorian, mungkin sebuah bar dimana perempuan tak bisa masuk.



Ini adalah kehidupan Jack yang dirahasiakan terhadap Victoria, sebuah tema yang biasa ditemukan dalam keseharian kehidupan saat ini.




Sementara Victoria adalah istri idealistik ala era Victorian; tak punya kehidupan lain selain suaminya, mengurusi perihal domestik, mematuhi norma-norma dan ekspektasi yang ditimpakan oleh para Alien--yang bisa dibaca sebagai "orang lain" atau "masyarakat"--terhadapnya.

Ketika suatu saat Jack pulang membawa sejumput bunga untuk menyatakan perasaannya, sebuah floriography khas Victorian, Victoria justru terganggu. Tentu sebagai seorang Victorian yang baik, Victoria harus mengikuti protokol dan code of conduct dimana ekspresi cinta adalah tabu.



Tanpa menghargai usaha Jack, Victoria membuang bunga itu ke tanah jauh di bawah sana, lalu kembali menghadapi Jack dan mengatakan "kita tak tahu racun apa yang ada di situ".



Kodifikasi Victorianism untuk tokoh Victoria juga diperkuat dengan banyak frame yang menunjukkan karakter dan situasinya. Pada shot ini, Victoria mencengkram erat-erat railing tangga, menunjukkan posisi lemah karena kebutuhan atas pegangan. Lagi, sebuah karakter khas perempuan ideal era Victorian.



Lebih jauh lagi, sang sutradara tampak dengan sengaja menggunakan framing untuk memperdalam kesan tidak natural terhadap tokoh Victoria. 



Dalam banyak shot, frame Victoria di ambil dengan sengaja keluar dari teori rule-of-thirds, teori komposisi yang menjelaskan bagaimana membuat obyek hadir secara nyaman dan natural di dalam frame. Komposisi Victoria di dalam frame juga dibuat kekurangan breathing-room, tanpa alasan komposisional pada sisa area di belakangnya. Usaha men-denaturalisasi tokoh Victoria semakin tampak sebagai sebuah kesengajaan.



Terutama karena karakter lain dalam film ini tidak ada yang menerima treatment komposisi frame seperti ini.


Walaupun Jack berulang-kali membangkang perintah, Victoria selalu memaafkannya. Ia bahkan berulangkali "memasang badan" untuk berhadapan dengan komando pusat (baca = masyarakat) untuk meyakinkan mereka bahwa ia dan Jack masih tetap an effective team; sebuah tim yang efektif. Suatu hal yang terus-menerus ditanyakan oleh komando pusat (masyarakat), apakah mereka tetap keluarga yang baik. Walau ia harus berbohong menyembunyikan kenyataan sebenarnya. Keluarga Victorian harus selalu tampak mengikuti protokol, elegan, dan ideal. Keluarga damai dan bahagia, yang memenuhi tuntutan-tuntutan normatif masyarakat.


Bila dalam norma Victorian ini dapat dianggap sebuah kesetiaan istri terhadap suaminya, dalam film Oblivion ditunjukkan bahwa Victoria melakukan itu hanya demi memenuhi tuntutan normatif masyarakat, bukan atas cinta terhadap Jack. Sekali lagi, ini adalah penggambaran mengenai istri yang baik dalam norma Victorian: demi protokol untuk tampak sebagai keluarga yang baik, bukan demi cinta, karena cinta adalah tabu.

Jadi ketika Victoria melihat bahwa Jack telah mendapat memorinya kembali dan akhirnya menyadari bahwa Julia adalah istri yang sebenarnya, kondisi jiwanya mulai terganggu.



Oblivion menggambarkan Victoria paska kesadaran Jack sebagai seorang anak kecil yang baru saja menyadari ia akan kehilangan mimpi dan idaman masa depannya. 


Dalam frame ini tampak rambut Victoria yang digerai dan treatment makeup-nya menampilkan impresi kekanak-kanakan, jauh dari elegansi sebelumnya.

Namun bahkan setelah itu, tampak Victoria masih memberikan kesempatan pada Jack untuk kembali ke stasiun kendali. Hanya setelah akhirnya Jack meminta Victoria untuk pergi, ikut dengannya meninggalkan stasiun kendali; meninggalkan mimpi dan harapannya untuk pindah ke Titan, Victoria memutuskan untuk melapor pada komando bahwa ia dan Jack bukan lagi tim yang efektif. 

Patut diperhatikan bahwa bukan kehilangan Jack yang menjadi horror bagi Victoria sehingga mengambil keputusan itu, melainkan akibat kehilangan harapan untuk mencapai Titan.


Dalam frame ini tampak Victoria menangis dan menjawab pertanyaan komando pusat tentang kondisinya dan Jack, "kami bukan tim efektif." Segera setelah itu para Alien menghancurkan pasangan Jack-Victoria, dan menawarkan Jack-Julia untuk menjadi tim efektif.

Setelah mendapat laporan itu, pos komando (baca = masyarakat), bukannya melenyapkan Jack sebagai pelaku pelanggaran, melainkan Victoria, yang dianggap gagal mengendalikan suaminya. Komando malah menawarkan pada Jack apakah mau mengambil Julia untuk "pasangan efektif" nya. Ini salah satu trait Victorian, yang mempersalahkan perempuan untuk kegagalan rumah tangga, dan selalu menerima laki-laki "kawin lagi".


Seratus delapan puluh derajat dari tokoh Victoria, Julia adalah perempuan yang mencintai Jack bukan karena protokol atau tuntutan, melainkan karena perasaan yang sebenarnya. Pasangan Jack dan Julia digambarkan setara (Tubuh Jack dan Julia sama tinggi, sedangakan Victoria lebih pendek dari Jack.)                                                                                                                                                                                                                                            
       
                                                                        
Frame shot-shot Julia dan Jack menunjukkan tanda-tanda kesetaraan. Baik Julia dan Jack berperan sama dalam perjuangan mereka. Keduanya rela berkorban untuk masing-masing. Perasaan dan cinta bebas di ekpresikan tanpa tabu dan protokol.

Kini telah jelas pesan yang berusaha disampaikan Oblivion. Era Victoria adalah era kepalsuan, sedangkan era Julia adalah era kesungguhan.

Victorianism di dalam Oblivion digunakan untuk memberikan konteks terhadap model hubungan suami-istri yang disuguhkan sebagai kehidupan antagonistik; protokoler, palsu, superfisial dan normatif. Sebaliknya, Julia membawa suasana setara, egaliter, relaks dan nyata.

Lalu apakah Oblivion telah menyajikan relasi gender yang setara? Not really. Namun paling tidak, itu yang berusaha disampaikan pembuatnya secara sadar. Tapi banyak hal-hal yang tidak disadari masih berada di dalam film. Tokoh Jack masih mengandung derajat chauvinism. Potensi dramatis yang lebih kuat justru dapat dicapai dengan menempatkan Julia sebagai sudut pandang inisial. Posisi underdog yang ada pada tokoh Julia akan menghadapkan penonton pada intensitas emosi yang lebih kuat: pulang ke Bumi untuk mendapatkan suaminya telah bersanding dengan istri palsu, yang akan sulit dibuktikannya dan akan menghadapi resistansi yang jauh lebih kuat daripada Jack yang paling tidak sudah memiliki derajat kendali atas hidupnya, serta bantuan dari para Scav. Tokoh-tokoh perempuan pun masih digambarkan sebagai pihak lemah, yang membutuhkan bantuan, atau paling tidak, kooperasi dari Jack untuk menemukan hidupnya. Jack masih tokoh laki-laki yang berupa Knight in shining armor bagi perempuan-perempuan yang menunggu sang pangeran.


Walaupun demikian, paling tidak, Oblivion sudah berada dalam awareness yang lebih tinggi daripada film-film seperti James Bond yang masih berkutat pada sentra yang chauvinistik. Ada pengakuan tentang kepalsuan motivasi populis yang antagonistik. Dan ada pesan-pesan egaliter, walaupun masih sejenak superfisial dan "terlalu permukaan".