ANALISIS: STRUCTURAL SYNTAGMATIC
UNTUK VICTORIANISM DALAM FILM OBLIVION
verdi adhanta
Cuilan dari diktat "rudimenter sinema" untuk
TENTAKEL ART
ERA VICTORIAN
Leadenhall street, London, 1837
Pada era Victorian, Inggris menjelang
abad 20, adalah sebuah kehidupan dimana moderenisasi adalah bahan pembicaraan
dan pikiran di mana-mana. Revolusi Industri dan Agrikultur: rel-rel kereta
direntangkan menembusi kota, padang dan bukit, menggantikan kereta kuda.
Orang-orang dikenalkan dengan mesin-mesin uap yang bekerja tak kenal lelah,
secara sublim menjadi standar baru, sehingga manusia biasa harus mulai
bersaing.
Perkembangan pesat kota-kota besar memompa urbanisasi,
berakibat pada lompatan jumlah penduduk yang hampir seketika. Persaingan hidup
sangat ketat, sementara bangsawan menikmati masa-masa kenyamanan kehidupan
ultra mewah di istananya masing-masing.
Reformasi dilakukan ketika para
bangsawan menekankan norma sosialnya pada kaum papa. Apa yang kita kenal
sekarang sebagai konservatisme,
adalah warisan dari era Victorian ini. Imperial Inggris pada saat itu begitu
berpengaruh pada sosial, politik, dan budaya dunia, hampir sebagaimana McDism
dan industri pop Amerika mengekspor kulturnya ke seluruh dunia saat ini.
Norma sosial ini lebih berlaku pada perempuan, daripada
laki-laki. Era Victorian dikenal dengan aturan yang strict terhadap perempuan.
Hak-hak kehidupan perempuan sangat ditekan. Hak-hak politik dicabut, nilai
kerja (labor) minim, lebih mudah bagi
laki-laki untuk menceraikan perempuan daripada sebaliknya, tak boleh menuntut
ke pengadilan, dan tidak boleh memiliki properti.
Ketika menikah, seluruh harta benda, gaji, penghasilan, yang
dipunyai sebelum menikah otomatis menjadi milik suaminya. Laki-laki dan
perempuan menjadi satu entitas, dengan suaminya mewakili untuk semuanya,
sehingga perempuan "lenyap" secara sosial. Undang-undang pernikahan
era Victorian juga menekankan bahwa istri adalah properti suaminya, termasuk
segala yang diproduksi oleh tubuhnya: anak, kerja labor, kerja domestik dan
seks. Kontrak perkawinan era Victorian juga mencabut hak consensual (setuju hubungan seks) perempuan, menjadikan tubuh
perempuan sebagai milik suaminya untuk "digunakan" semaunya.
(disarming of cupid, karya William Edward Frost, salah satu koleksi Queen Victoria)
Tekanan
ini mendorong banyak perempuan menghindari pernikahan dan memilih seks di luar
nikah, ditambah faktor demografis pada saat itu, dimana jumlah perempuan lebih
banyak daripada laki-laki. Sebagian akhirnya bekerja dalam prostitusi. Namun
era Victorian tidak melihat keduanya berbeda, dan tidak mengijinkan
"pembangkangan" sosial ini, dengan menerapkan istilah "the great social evil" baik pada
PSK maupun perempuan yang berhubungan seks di luar nikah, yang disebut fallen women, dan akan segera menerima
subjugasi sosial dan hukum yang luar biasa. Hal ini, akan tetapi, tidak berlaku
pada laki-laki, yang dianggap wajar bila mengunjungi pelacuran dengan alasan
kebutuhan biologis. Code ini pun
tidak begitu mengikat kaum bangsawan, misalnya, karena Queen Victoria sendiri
punya hobby mengumpulkan lukisan dengan tubuh-tubuh telanjang. Hal ini membuat
era Victorian dikenal dengan era hiprokitas, double standard, dan kontradiksi, yang kemudian terwariskan di
dunia saat ini dalam trait-trait Conservatism.
Situasi ini begitu berpengaruh hingga menjadi diet
keseharian budaya dan khususnya karya literatur saat itu. Strict code era Victorian melarang ekspresi emosi atau rasa seksual,
mendorong lahirnya penggungaan language
of flowers (floriography), sebuah metode komunikasi kriptologis melalui
penataan bunga. Populernya kultur pemberian bunga, misalnya, untuk
mengungkapkan cinta dalam literatur, lukisan dan film berasal dari work-around era Victorian ini.
|
(Found Drowned: Nasib para the fallen)
Para
aristokrat dan kaum bangsawan pada era Victorian menganggap diri mereka sebagai
protector of society, yang bertugas
menjaga tradisi (conservatism). Ide
Victorian bagi para elite adalah penegakkan etiket sesuai code of conduct untuk membedakan dirinya dengan kaum bawah. Kita
juga melihat ini dalam, misalnya, penggambaran2 hubungan antara majikan dan
pekerja rumah tangga pada banyak karya seni, film dan literatur dunia.
Para laki-laki era Victorian mempunyai ekspektasi sebagai
seorang Knight (Satria), yang menjadi "penjaga" bagi perempuan. Ini
menjadi elemen dasar bagi penggambaran heroism dalam karya2 film dunia,
terutama Hollywood. Tokoh-tokoh protagonist adalah laki-laki yang bersikap
sebagai "Knight in shining armor",
dan perempuan-perempuannya adalah putri-putri yang "menunggu seorang
pangeran untuk membawanya pergi", dengan premis bahwa seorang perempuan
selalu berada dalam situasi yang buruk, bagi seorang laki-laki heroik untuk menyelamatkannya
dari situ.
Ini adalah trait Victorian Elitism, yang konsepnya dapat dengan mudah dibaca sebagai dikotomi
laki-laki - perempuan dan kaum bangsawan - papa.
Analisis film akan segera memperlihatkan pada kita
bagaimana Victorianism dapat digunakan untuk membaca apa yang terjadi dalam
bingkai yang lebih luas:
Dalam
film-film 007, James Bond sang spion adalah tokoh yang memenuhi segala
stereotip seorang pahlawan: elegansi dan powerful. Perempuan-perempuan dalam
film-filmnya memenuhi salah satu (atau dua) dari tiga fungsi:
1. Si lemah yang
ditolong.
2. Ornamen cinta dan seks.
3. Pelaku kejahatan.
Trait Victorian segera terlihat dalam film ini. Dikotomi
normatif Victorian bagi perempuan adalah: Antara 1) Penurut yang menyerah dan
tunduk pada laki-laki, atau 2) Pelacur yang merupakan the great social evil. Pengemasannya berlanjut secara stereotipical
untuk merepresentasi kejahatan dengan menggunakan aparatus tubuh perempuan
sebagai simbol-simbolnya.
Stereotipical trait ini dirangkum dalam satir Mitchell & Webb: Poirot, sebuah
sindiran, terhadap kebiasaan film dalam menggunakan elemen tubuh perempuan
untuk menyimbolkan kejahatan:
Sebelum diketahui
melakukan kejahatan, Susan punya postur dan gestur yang humble, lemah dan rentan. Jemarinya mencengkram tas untuk kesan membutuhkan
pegangan. Posturnya membuat dirinya sekecil mungkin, meminimalkan okupasinya terhadap
ruang.
Setelah diketahui melakukan kejahatan,
postur Susan digambarkan powerful, confident dan merokok, menyindir
kebiasaan film dimana antagonist
perempuan digambarkan confident dan
perokok. Perhatikan pipa rokok diarahkan keluar, mengambil ruang lebih besar.
Perhatikan bajunya kini mengenakan low-cut,
memperlihatkan area dada lebih luas, mengimplikasikan confident dengan tubuhnya. Rambutnya dibuka dan lampu kicker yang menjadi backlight mengiluminasi halo
lebih intens di kepalanya. Lampu kicker
itu pun diperkuat powernya.
Perhatikan bahwa tangan kirinya menopang diri sendiri, menyiratkan kemandirian.
Hal ini mengatakan bahwa dalam film-film yang disindirnya, confident, perokok (tahu apa yang ia mau), mandiri, dan powerful digunakan untuk menggambarkan
perempuan jahat.
Lebih jauh lagi, ketika Susan bergerak mendekati suaminya,
sang suami berkata dengan heran, "Her
tits just got bigger!" (Payudaranya membesar). Lalu David Mitchell
(berperan sebagai plesetan dari Hercule Poirot), mengatakan, "It happens." David & Mitchell: Poirot menggambarkan betapa stereotype dalam film-film ini redundant dan ridiculous.
Mengamati film dari hubungan gendernya adalah hal termudah
yang bisa kita lakukan untuk menempatkan karya tersebut dalam peta literatur.
Secara pribadi saya bisa melihat sebuah kecenderungan bahwa karya-karya yang belum selesai dengan persoalan chauvinisim dan relasi gender, biasanya
tidak menawarkan substansi yang cukup untuk dianggap serius, selain sekedar hal-hal
teknis sinematik.
Ini mengapa mereka membuat Bechdel Test.
http://bechdeltest.com/
MEMBACA
SECARA STRUKTURAL
Dari filsafat Strukturalism,
terlahir teori film strukturalist. Strukturalist lebih melihat pada bagaimana
cara pesan disampaikan oleh suatu produk cinema. Pandangan ini bisa dilihat
sebagai cara melihat film dari teknik komunikasinya. Bagaimana anasir dan
elemen sinema, termasuk teknik-teknik kamera, shot, screen direction, lighting,
dan sebagainya, terstruktur untuk menyampaikan pesan.
Formalisasi terhadap kritik
strukturalis membawa kritik literatur semiotik terhadap film. Semiotika secara
umum adalah usaha penyederhanaan kompleksitas suatu presentasi ke dalam
tanda-tanda yang dapat dibaca dan dimaknai.
Pemberian konteks syntagmatic
atas tanda (signification) dapat dilakukan
secara spatial dengan melihat orientational metaphor dalam dimensinya,
dengan justifikasi kultur yang bersangkutan. Contoh, hampir semua kultur
mempunyai konotasi bahwa "atas" berasosiasi kebaikan, kelebihan,
kebahagiaan, kesadaran, daya kendali dan rasionalitas. Sebaliknya
"bawah" berasosiasi keburukan, kekurangan, kesakitan, kematian,
terkendali, dan emosi.
Spatial Syntagmatic untuk James Bond
Untuk membaca cuilan gambar dari
film James Bond. Sang pahlawan berada di atas dan perempuan berada di bawah.
Kepala sang perempuan berada di atas garis normalnya, dan tangan perempuan
menopang dirinya sendiri.
Pembacaan ini memberikan infer bahwa postur sang perempuan
menandakan kemampuan dan penyerahan sekaligus, dan bahwa ia memilih untuk
mengakomodasi hasrat Bond.
Ini adalah salah satu warisan
Victorian ethics bagi perempuan modern, bahwa bagaimanapun ia mampu, ia harus
selalu menyerahkan diri (submission)
kepada laki-laki, dalam memenuhi kriteria normatif masyarakat terhadap
stereotip "perempuan baik-baik", alias prudism.
Selain secara spatial (bagaimana relasi tanda dalam
ruang), film juga dibaca secara sequential,
atau sequential syntagmatic, karena
ia adalah karya seni yang punya dimensi waktu. Pembacaan sequential adalah
memahami pesan yang dibangun terhadap event
yang serial. Event yang ada sebelum atau sesudah event yang lain, dapat menjadi
signifier atau pemberi konteks, yang
kemudian menghasilkan tanda.
Sekarang kita akan melihat
bagaimana Victorianism digunakan dalam film Oblivion (2013) untuk melakukan delivery pesan.
Film Oblivion disutradari oleh
Joseph Kosinski. Bercerita tentang tokoh protagonist Jack Harper, seorang
teknisi drone yang ternyata adalah drone juga. Dia adalah clone dari astronot
Jack Harper yang puluhan tahun sebelumnya bertemu dengan pesawat alien, yang
kemudian menghancurkan Bumi, dan membuat ratusan clone dari dirinya dan rekan kerjanya sesama astronot, lalu mencuci
otaknya hingga menyangka para Scav, yang sebenarnya adalah sesama manusia,
adalah alien yang menghancurkan Bumi. Sampai akhirnya istrinya yang sebenarnya
pulang ke Bumi dan memberitahukan yang sebenarnya, dan bersama Scav mereka
akhirnya berhasil mengalahkan para Alien tersebut.
Para Alien mencuci otak Jack
hingga mengira rekan kerjanya adalah istrinya. Istri palsunya ini bernama
"Victoria." Hampir langsung
pada pesannya.
Dunia secara literal hanya milik
mereka berdua. Bumi kosong, kering, paska event apokaliptik. Jack bekerja
sebaga teknisi dan Victoria adalah "control
officer" khusus untuknya, yang menanti dan mengendalikannya dari
rumah, sementara Jack mempertaruhkan raga dan nyawanya di luar, agar impian
mereka bisa tercapai: pergi dari situ, dan pindah ke Titan, yang dijanjikan
pada mereka sebagai tempat kemana para manusia lainnya telah mengungsi.
Setiap saat
mereka melaporkan pada komando pusat, bahwa mereka adalah tim yang efektif.
Menjadi tim yang efektif adalah idaman mereka. Menjadi suami-istri dalam rumah
tangga yang idealistik, impian era Victorian.
Kita bisa membaca bagaimana cara
Victoria didudukkan: posturnya tegak, menjadi pengendali bagi suaminya, dengan cross-ankle. Postur ini memenuhi
karakterisasi prudism, sebuah etik
Victorian, yang menggambarkan idealisasi permpuan yang elegan. Dalam studi
bahasa tubuh, cross-ankle adalah
posisi self-restraint (menahan diri).
Cross-ankle juga adalah posisi yang
dikenal sebagai postur penjahit baju di Eropa, ketika tengah bekerja. Victoria
duduk demikian ketika suami berada di luar rumah, menunjukkan chastity, code of conduct Victorian. Victoria adalah seorang lady of the house yang ideal dalam norma Victorian.
Jack dan Victoria mengisi kehidupan
mereka dengan norma-norma "keluarga idaman". Jack melatih tubuhnya untuk tenaga
(berlari), dan Victoria melatih tubuh untuk bentuknya (senam).
Gambaran fungsi perempuan idealistik
juga sebagai penghidang makan untuk sang suami. Dalam gambar ini Jack makan
makanan dari tangan Victoria.
Seperti dalam era Victorian, tentu
bukan laki-laki namanya bila tidak punya kehidupan di luar rumah. Jack
digambarkan punya teman selain istrinya, yaitu sebuah boneka bernama Tom, dan
seekor ikan yang dikunjunginya pada waktu-waktu yang ia bisa "curi"
ketika berada di luar pengawasan Victoria, istrinya. Dalam film Oblivion,
alasannya adalah jarak jangkau radar yang tak sampai. Pada era Victorian,
mungkin sebuah bar dimana perempuan tak bisa masuk.
Ini adalah kehidupan Jack yang
dirahasiakan terhadap Victoria, sebuah tema yang biasa ditemukan dalam
keseharian kehidupan saat ini.
Sementara Victoria adalah istri idealistik ala era Victorian;
tak punya kehidupan lain selain suaminya, mengurusi perihal domestik, mematuhi
norma-norma dan ekspektasi yang ditimpakan oleh para Alien--yang bisa dibaca
sebagai "orang lain" atau "masyarakat"--terhadapnya.
Ketika suatu saat Jack pulang membawa sejumput bunga untuk
menyatakan perasaannya, sebuah floriography
khas Victorian, Victoria justru terganggu. Tentu sebagai seorang Victorian
yang baik, Victoria harus mengikuti protokol dan code of conduct dimana ekspresi cinta adalah tabu.
Tanpa menghargai usaha Jack, Victoria
membuang bunga itu ke tanah jauh di bawah sana, lalu kembali menghadapi Jack
dan mengatakan "kita tak tahu racun apa yang ada di situ".
Kodifikasi Victorianism untuk tokoh
Victoria juga diperkuat dengan banyak frame yang menunjukkan karakter dan
situasinya. Pada shot ini, Victoria mencengkram erat-erat railing tangga, menunjukkan posisi lemah karena kebutuhan atas
pegangan. Lagi, sebuah karakter khas perempuan ideal era Victorian.
Lebih jauh lagi, sang sutradara tampak
dengan sengaja menggunakan framing untuk memperdalam kesan tidak natural
terhadap tokoh Victoria.
Dalam banyak shot, frame Victoria di ambil dengan
sengaja keluar dari teori rule-of-thirds,
teori komposisi yang menjelaskan bagaimana membuat obyek hadir secara nyaman
dan natural di dalam frame. Komposisi Victoria di dalam frame juga dibuat
kekurangan breathing-room, tanpa
alasan komposisional pada sisa area di belakangnya. Usaha men-denaturalisasi
tokoh Victoria semakin tampak sebagai sebuah kesengajaan.
Terutama karena karakter lain dalam film ini tidak ada yang
menerima treatment komposisi frame seperti ini.
Walaupun Jack berulang-kali membangkang perintah, Victoria
selalu memaafkannya. Ia bahkan berulangkali "memasang badan" untuk
berhadapan dengan komando pusat (baca = masyarakat) untuk meyakinkan mereka
bahwa ia dan Jack masih tetap an
effective team; sebuah tim yang efektif. Suatu hal yang terus-menerus
ditanyakan oleh komando pusat (masyarakat), apakah mereka tetap keluarga yang
baik. Walau ia harus berbohong menyembunyikan kenyataan sebenarnya. Keluarga
Victorian harus selalu tampak mengikuti protokol, elegan, dan ideal. Keluarga
damai dan bahagia, yang memenuhi tuntutan-tuntutan normatif masyarakat.
Bila dalam norma Victorian ini dapat
dianggap sebuah kesetiaan istri terhadap suaminya, dalam film Oblivion
ditunjukkan bahwa Victoria melakukan itu hanya demi memenuhi tuntutan normatif
masyarakat, bukan atas cinta terhadap Jack. Sekali lagi, ini adalah
penggambaran mengenai istri yang baik dalam norma Victorian: demi protokol
untuk tampak sebagai keluarga yang baik, bukan demi cinta, karena cinta adalah
tabu.
Jadi ketika Victoria melihat bahwa Jack telah mendapat
memorinya kembali dan akhirnya menyadari bahwa Julia adalah istri yang
sebenarnya, kondisi jiwanya mulai terganggu.
Oblivion menggambarkan Victoria paska
kesadaran Jack sebagai seorang anak kecil yang baru saja menyadari ia akan
kehilangan mimpi dan idaman masa depannya.
Dalam frame ini tampak rambut
Victoria yang digerai dan treatment
makeup-nya menampilkan impresi kekanak-kanakan, jauh dari elegansi sebelumnya.
Namun bahkan setelah itu, tampak
Victoria masih memberikan kesempatan pada Jack untuk kembali ke stasiun
kendali. Hanya setelah akhirnya Jack meminta Victoria untuk pergi, ikut
dengannya meninggalkan stasiun kendali; meninggalkan mimpi dan harapannya untuk
pindah ke Titan, Victoria memutuskan untuk melapor pada komando bahwa ia dan
Jack bukan lagi tim yang efektif.
Patut diperhatikan bahwa bukan kehilangan
Jack yang menjadi horror bagi Victoria sehingga mengambil keputusan itu,
melainkan akibat kehilangan harapan untuk mencapai Titan.
Dalam frame ini tampak Victoria menangis dan menjawab
pertanyaan komando pusat tentang kondisinya dan Jack, "kami bukan tim
efektif." Segera setelah itu para Alien menghancurkan pasangan Jack-Victoria,
dan menawarkan Jack-Julia untuk menjadi tim efektif.
Setelah mendapat laporan itu, pos komando (baca = masyarakat), bukannya melenyapkan Jack sebagai pelaku pelanggaran, melainkan Victoria, yang dianggap gagal mengendalikan suaminya. Komando malah menawarkan pada Jack apakah mau mengambil Julia untuk "pasangan efektif" nya. Ini salah satu trait Victorian, yang mempersalahkan perempuan untuk kegagalan rumah tangga, dan selalu menerima laki-laki "kawin lagi".
Seratus delapan puluh derajat dari
tokoh Victoria, Julia adalah perempuan yang mencintai Jack bukan karena
protokol atau tuntutan, melainkan karena perasaan yang sebenarnya. Pasangan
Jack dan Julia digambarkan setara (Tubuh Jack dan Julia sama tinggi, sedangakan
Victoria lebih pendek dari Jack.)
Frame shot-shot Julia dan Jack menunjukkan tanda-tanda
kesetaraan. Baik Julia dan Jack berperan sama dalam perjuangan mereka. Keduanya
rela berkorban untuk masing-masing. Perasaan dan cinta bebas di ekpresikan
tanpa tabu dan protokol.
Kini telah jelas pesan yang berusaha disampaikan Oblivion.
Era Victoria adalah era kepalsuan, sedangkan era Julia adalah era kesungguhan.
Victorianism di dalam Oblivion
digunakan untuk memberikan konteks terhadap model hubungan suami-istri yang
disuguhkan sebagai kehidupan antagonistik; protokoler, palsu, superfisial dan
normatif. Sebaliknya, Julia membawa suasana setara, egaliter, relaks dan nyata.
Lalu apakah Oblivion telah menyajikan relasi gender yang setara?
Not really. Namun paling tidak, itu
yang berusaha disampaikan pembuatnya secara sadar. Tapi banyak hal-hal yang
tidak disadari masih berada di dalam film. Tokoh Jack masih mengandung derajat chauvinism. Potensi dramatis yang lebih
kuat justru dapat dicapai dengan menempatkan Julia sebagai sudut pandang
inisial. Posisi underdog yang ada
pada tokoh Julia akan menghadapkan penonton pada intensitas emosi yang lebih
kuat: pulang ke Bumi untuk mendapatkan suaminya telah bersanding dengan istri
palsu, yang akan sulit dibuktikannya dan akan menghadapi resistansi yang jauh
lebih kuat daripada Jack yang paling tidak sudah memiliki derajat kendali atas
hidupnya, serta bantuan dari para Scav. Tokoh-tokoh perempuan pun masih
digambarkan sebagai pihak lemah, yang membutuhkan bantuan, atau paling tidak,
kooperasi dari Jack untuk menemukan hidupnya. Jack masih tokoh laki-laki yang
berupa Knight in shining armor bagi
perempuan-perempuan yang menunggu sang pangeran.
Walaupun demikian, paling tidak, Oblivion sudah berada
dalam awareness yang lebih tinggi daripada film-film seperti James Bond yang
masih berkutat pada sentra yang chauvinistik. Ada pengakuan tentang kepalsuan
motivasi populis yang antagonistik. Dan ada pesan-pesan egaliter, walaupun
masih sejenak superfisial dan "terlalu
permukaan".